foto Eka (YEPE Malang)
Perkumpulan Pentjinta Alam atau PPA[1], merupakan jejak pertama kegiatan hobi yang berkaitan dengan aktivitas luar ruangan. Meski sejarah keberadaan PPA maupun sosok pendirinya sangat terbatas, namun penggunaan kata “Pentjinta” merupakan bentuk pilihan kearifan dalam kegiatan luar ruangan. Kearifan yang mungkin saja telah hilang dalam tindakan kebanyakan orang, yang justru menjadi perusak lingkungan. ‘Pentjinta alam’, merupakan frase yang tak butuh penjelasan besar, karena cinta telah diketahui oleh siapapun, meski dalam beragam makna, defenisi dan pengertian. Apapun itu, cinta selalu membutuhkan pengorban besar dari seorang pencinta.
Awibowo sendiri mengatakan tentang alasan mengapa ia memilih ‘Pentjinta Alam’. “Kami ramai berdiskusi soal istilah yang akan dipakai untuk menyebutkan perkumpulan itu,” cerita Awibowo. Ada yang mengusulkan untuk memakai istilah “Penggemar Alam” atau “Pesuka Alam”. “Tapi saya mengusulkan istilah “Pentjinta Alam”, karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar atau suka,” tutur Awibowo melanjutkan cerita kepada Norman. Menurut Awibowo, gemar atau suka mengandung makna eksploitasi belaka, tetapi cinta mengandung makna mengabdi. “Bukankah kita dituntut untuk mengabdi pada negeri ini?” Tanya Awibowo member penegasan pada Norman, kala itu. Istilah Pentjinta Alam, terasa aneh saat itu, karena cinta masih seidentik dengan urusan asmara. Namun Awibowo tak peduli.
Tujuan pendirian PPA adalah “Memperluas serta mempertinggi rasa tjinta terhadap alam seisinja dalam kalangan anggauta-anggautanja dan masjarakat oemoemnja.” PPA waktu itu merupakan kelompok hobbi. Anggaran dasar PPA menyebutkan, “PPA (Perkumpulan Pentjinta Alam) adalah perkumpulan kesukaan (hobby).” “Hobby diartikan suatu kesukaan jang positif serta sutji, lepas dan sutji dari “sifat maniak” jang semata-mata melepaskan nafsunya dalam tjorak negatief.”
Apapun dan siapapun yang dicintai atau menjadi yang tercinta, harus dilindungi agar tak menjadi korban atau dikorbankan. Pencinta harus mencintai apapun dan siapapun yang dicintainya, melebihi kecintaannya pada diri sendiri. Pencinta harus siap menjadi korban dari semua resiko yang timbul akibat menjadi pencinta. Cinta memang selalu seimbang dengan resiko yang dihadapi seorang pencinta. Keseimbangan yang tak dapat dijalani semua orang, karena itu tak banyak yang menjadi pencinta. Seorang pecinta haruslah yang terpilih dari setiap ujian ambang resiko yang melebihi logika standar. Pencinta adalah manusia pilihan. Pilihan yang berasal dari akar jiwa dan bibit hati yang ikhlas.
Akar usia PPA tidaklah lama, karena di akhir 50-an bubar. Perkembangan komunis dan situasi politik yang memburuk mengakibatkan PPA tak bisa berumur lama. Resiko dari sebuah cinta memang demikianlah adanya, kalau tak bisa dipertahankan lagi lebih baik bubar. Bubar sebagai nama, tidaklah mengapa. Nama bisa dibuat lagi dalam perkumpulan, organisasi dan kelompok yang berbeda.
Cinta tak perlu pelabelan nama, sebab dari dulu cinta yang terbaik selalu anonim. Memberi suatu nama pada cinta dan kemudian menjelaskannya, seperti memakan apel. Kita tak akan pernah tahu seperti apa rasanya, meski melalui penjelasan kalimat terperinci dan defenisi yang paling rumit. Apel tak akan pernah diketahui rasanya, jika tak pernah memakannya. Bunga mawar juga begitu, bila tak pernah tertusuk durinya, keharuman bunganya tak lengkap terasa di penciuman. Bau anyir darah akibat tusukan duri, akan menambah keharuman bunga mawar.
Cinta juga seperti itu, harus didalami pada tingkat rasa, bukan logika yang memberatkan pikiran. Memang cinta bukanlah sebuah rasa dari sesuatu yang bisa dimakan seperti apel atau keharuman bunga mawar. Sepertinya jika hendak merasakan keharuman dan keindahan bunga mawar, tempat yang terbaik adalah taman. Itulah yang dilakukan Awibowo di usia senjanya. Terhadap kecintaannya pada taman, ia berkata, ““Bila ingin hidup senang sehari, makanlah. Bila ingin hidup senang sebulan, menikahlah. Tapi, bila ingin hidup sejahtera selamanya….buatlah taman!” Demikianlah, Almarhum Norman Edwin[2], telah memperkenalkan kita kepada ‘Sang Biang Pentjinta Alam dan Sang Pencinta Taman itu’.
Memegang apel di tangan dalam waktu cukup lama, akan membuatnya busuk pada suatu ketika. Begitupun mawar akan cepat terkulai layu bila dalam genggaman. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipegang dalam rengkuhan jemari. Dua telapak tangan kita teramat kecil untuk memahami alam dalam bentuk jamahan. Namun dua telapak tangan itu bila tak terjaga, pasti bisa membusuki alam dimana-mana. Cinta tak akan pernah membuat pembusukan atau terbusuki. Kalau ada yang busuk, itu pasti berasal dari hati kotor dan perbuatan yang durjana. Cinta tak akan pernah ada di hati dan perbuatan semacam itu.
Ketika PPA hampir meregang nyawa, istilah ‘Pencinta Alam’ muncul kembali dalam nama berbeda, yakni Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi[3] . Saat itu beberapa mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia mengadakan pendakian di gunung Pangrango[4]. Meski kelompok ini didirikan oleh mahasiswa, namun kalangan non-mahasiswa dilibatkan pula menjadi anggota. Cinta memang abadi, tapi nama yang menggunakannya berusia singkat. Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi hanya bertahan di tahun kedua. Mati pada nama, namun tidak pada cinta dan para sang pencinta.
Soe Hok-Gie
Gagasan keberadaan Pencinta Alam sebagai suatu nama, muncul kembali pada suatu sore[5] saat kerja bakti di Taman Makam Pahlawan Kalibata oleh Soe Hok Gie[6]. Gagasan yang lahir di kuburan ini, kemudian berlanjut pada pertemuan kedua[7]. Saat itu Herman O. Lantang[8] yang menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Nama baru tersebut yakni IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Nama ini bukan berasal dari mahasiswa[9], namun dari pihak birokrat kampus yang menaruh minat pada organisasi tersebut. Nama Impala, kemudian tidak disetujui PD 3 FSUI[10] dengan alasan terlalu borjuis.
Herman Lantang di Puncak Jaya 4884 mdpl (1972)
Dari balik sejarah yang berbeda, Impala dikatakan borjuis sebab merupakan produk mobil Chevy/Chevrolet yang mewah masa itu. Impala adalah bagian dari lakon buruk petinggi negara, yang lebih memilih produk yang mewah daripada berbakti pada bangsa. Gambaran ke’impala-an’ dan keborjuisan petinggi negara juga terjadi sekarang ketika anggota DPR menggunakan mobil Toyota Crown Royal Salon 2008[11]. Salah satu contoh kemewahan Impala, terlihat dari penolakan Muhammad Natsir[12] ketika ditawari mobil Chevy tersebut. Beliau tetap memilih mobil deSoto yang berharga jauh lebih murah, bahkan memilih naik sepeda.
Ide tentang Impala berhenti dalam alur sebuah sejarah yang terjadi sebelumnya. Impala kemudian diubah menjadi Mapala Prajnaparamita. Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam dan Prajnaparamita berarti Dewi Pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah, dalam bahasa Sanskerta[13].
Logo Mapala UI lama dan yang sekarang
Cinta kepada alam sepatutnya dilakukan tidak dalam bentuk maskulin, tapi lebih ke corak feminim. Corak maskulin yang serba ke-pria-an, cenderung menjadikan alam sebagai sesuatu yang harus dikuasai, ditundukkan atau ditaklukkan. Pada akhirnya meluas sebagai penghancur, pemerkosa dan penista alam. Bayangkan jika alam yang dicintai seperti sosok dewi (sebagaimana Prajnaparamita), pertama tentu saja harus memahami hatinya dan mendalami apa yang dipikirkannya. Namun kecintaan pada alam, yang serba maskulin, seringkali tanpa hati dan juga tertumbuk pada logika sesat. Inilah yang membuat mereka yang berkegiatan di luar ruangan, seringkali tak pantas disebut pencinta. Orang yang tak bisa menunjukkan belas kasih di luar ruangan, tak bisa dipercaya bisa membuktikan rasa sayang bila berada di dalam kamar tertutup.
-------------------------------------------
kamus kecil :
1] Didirikan oleh Awibowo, pada 18 Oktober 1953. Awibowo mendirikan PPA saat baru selesai pendidikannya di Universitas Indonesia di Bogor (sekarang IPB). Keberadaan Awibowo, sebagai biang super senior pencinta alam diceritakan oleh Alm. Norman Edwin dalam artikel di majalah Mutiara, 20 Juni-3 Juli 1984. Sebuah pesan Awibowo untuk para pencinta alam yakni, “Terima kasih, kalian telah ikut menyuburkan benih-benih cinta alam yang kami taburkan dahulu. Jangan hanya berpartisipasi, tetapi berikan dedikasi yang murni kepada alam!”
[2] Norman Edwin, meninggal di usia 37 tahun (1955 - 1992). Ia lahir di Sungai Gerong, Sumatera Selatan, 16 Januari 1955. Pendidikannya ditempuh pada jurusan Sejarah Universitas Padjdjaran, Bandung, dan jurusan Arkeologi Universitas Indonesia. Kegiatan penjelajahan alam pada tahun 1980-an banyak terpublikasikan di sejumlah majalah dan surat kabar karena dirinya. Ia menulis diantaranya dalam majalah Mutiara dan harian Kompas. Ia salah seorang pelopor ekspedisi besar ke beberapa gunung ternama dunia. Dirinyalah yang berhasil merubah Mapala UI menuju suatu organisasi pencinta alam yang berkemampuan tinggi dalam hal ekspedisi lintas negara.
Usahanya menuntaskan serial Pendakian tujuh puncak dunia Mapala UI dalam ekspedisi Seven Summit merupakan kesuksesannya sebagai pendaki, hingga wafat pertengahan April 1992. Saat itu, ia mendaki Gunung Aconcagua di perbatasan Argentina - Cile. Ia wafat bersama Didiek Samsu Wahyu Triachdi. Tujuh puncak dunia itu yakni, Cartensz Pyramid, Papua (4.884 mdpl), Elbrus, Rusia (5.633 mdpl), Kilimanjaro, Tanzania Afrika (5.894 mdpl), McKinley di Alaska, Amerika Serikat (6.194 mdpl), Aconcagua (6.959 mdpl) dan Everest, Nepal (8850 mdpl).
[3] Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi yang didirikan pada 19Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango (3,019 mdpl).
[4] Puncak Gunung Pangrango dinamakan Mandalawangi. Pangrango merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Barat setelah Gunung Ceremai (3078 mdpl). Gunung Pangrango terletak persis bersebelahan dengan Gunung Gede (2.958 mdpl), berada di dalam kawasan Taman Nasional Gede Pangrango.
[5] 8 Nopember 1964.
[6] Soe Hok Gie, lahir di Djakarta, 17 Desember 1942. Dua puluh enam tahun kemudian meninggal di Gunung Semeru, pada 16 Desember 1969. Ia menempuh pendidikan akademis di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
[7] Diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, didepan ruang perpustakaan.
[8] Herman Lantang, lahir di Tomohon, Sulawesi Utara, 2 Juli 1940. Mahasiswa Anthropologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1960. Ketua Senat FSUI selama 2 periode (1964 - 1964). Salah satu pendiri Mapala UI dan menjadi ketua pertama selama dua periode (1972 - 1974). Melakukan pendakian pertama Mapala UI ke Puncak Jaya pada tahun 1972. Bersama sahabatnya, Soe Hok Gie, dia juga menjadi inspirator gerakan demo long march mahasiswa UI untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno pasca G 30 S dan semasa Tritura. Telah menjadi inspirator dan motivator bagi para pecinta alam Indonesia. Selengkapnya dapat anda lihat di blog pribadinya www.hermanlantang.blogspot.com
[9] Nama itu diberikan oleh Drs. Moendardjito. Kini Prof. DR. Moendardjito, arkeolog UI ternama.
[10] Drs.Bambang Soemadio, PD III FSUI, bidang Mahalum (Mahasiswa dan Alumni)
[11] Mobil yang berharga Rp. 1,3 miliar ini merupakan salah satu fasilitas mewah yang diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada 34 anggota Kabinet Indonesia Bersatu II. Mobil ini memang termasuk kelas paling mewah dari Toyota. Di Jepang, mobil ini dipakai perusahaan untuk menjamu tamu-tamu penting mereka. Ia dianggap sekelas dengan BMW seri lima atau Mercedez-Benz seri E. Mobil ini sama sekali tak meningkat kinerja anggota DPR kepada bangsa. Serial hidup mewah dan foya-foya para anggota DPR adalah bencana terencana yang terpelihara oleh pemerintah dalam negara ini.
[12] Mohammad Natsir, lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Beliau – meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun. Beliau merupakan perdana menteri kelima, pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi. Ia merupakan salah seorang tokoh Islam terkemuka di Indonesia. Beliau telah diberikan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2008.
[13] Bahasa Sanskerta, pernah disebut sebagai bahasa Jawa kuno, kini tak pernah lagi digunakan di Indonesia. Bahasa yang sudah punah itu dipakai pada nama-nama ruangan di DPR. Dapat dipastikan bahwa arti dari bahasa Sanskerta tak pernah dimengerti oleh para politikus yang berkantor di ruangan tersebut. Sanskerta adalah salah satu bahasa Indo-Eropa paling tua yang hanya bisa ditandingi oleh bahasa Hitit (bahasa yang dipergunakan sebuah bangsa yang pernah memiliki sebuah kerajaan besar di Hattusa kuno (sekarang Boğazköy) di sebelah utara Turki. Kata Sanskerta, berasal saṃskṛta yang berarti “berbudaya”. Bahasa ini dirujuk sebagai saṃskṛtā vāk “bahasa yang berbudaya” atau Saṃskṛtabhāsa “bahasa yang sempurna”. Bahasa ini merupakan bahasa kalangan yang pongah dan sombong, karena selain dari para penggunanya yang golongan strata masyakat kelas tinggi, terdapat kebalikannya yakni bahasa Prakerta, atau bahasa rakyat jelata. Ini bahasa yang sama sekali tak menunjukkan kesetaraan kepada sesama manusia. Bahasa yang diskriminatif ini justru dipakai di gedung yang mewakili kebobrokan para politikus.
Bahasa Sanskerta merupakan bahasa untuk memahami pandangan para dewa dalam liturgis Hindu, Buddhisme, dan Jainisme. Deva-bhāṣā atau Bahasa para dewa dan pendeta itu, kini masih menjadi salah satu dari 23 bahasa resmi India. Bahasa ini juga masih sebagai bahasa resmi di Nepal, negeri gunung para dewa.